Wednesday 4 November 2015

Tembang Macapat sebagai Warisan Wali Sanga


Tembang Macapat
sebagai Warisan Wali Sanga
A.    Pengertian
Kata tembang sebagai “nyanyian” bersinonim dengan kidung, kakawin, dan gita. Kata kakawin berasal dari kawi ( bahasa Sansekerta ) yang berarti “penyair”. Kakawin berarti “syair, gubahan, kidung, nyanyian” (Mardiwarsito, 1981 :274 ).Kata kidung berarti “nyanyian”, sudah dikenal sejak terciptanya karya sastra jawa Kuno. Sedangkan kata tembang baru di jumpai dalam karya sastra Jawa Baru. Kemudian kata kakawin, kidung, dan tembang digunakan sebagai sebutan bentuk puisi Jawa secara kronologis. Kakawin merupakan sebutan puisi Jawa Kuno berdasarkan metrum India. Kidung sebagai sebutan puisi Jawa pertengahan berdasarkan metrum Jawa dan tembang, adalah sebutan puisi jawa baru berdasarkan metrum Jawa.
Berkaitan dengan kata tembang, muncul kata macapat yang kemudian digabung menjadi “tembang macapat”. Kata macapat diperkirakan bukan berasal dari bahasa Jawa Kuno atau Kawi dan bukan berasal dari bahasa Jawa Pertengahan atau Jawa Madya, melainkan dari bahasa Jawa Baru (Danusuprapta, 1981: 151). Bahasa Jawa Baru adalah bahasa yang digunakan dalam karya sastra Jawa pada akhir abad ke-16 Masehi.
Arti macapat, menurut Poerwardarminta, adalah tembang yang biasa digunakan atau terdapat dalam kitab-kitab Jawa Baru.
Karseno Saputra mendefinisikan: macapat adalah karya sastra berbahasa Jawa Baru berbentuk puisi yang disusun menurut kaidah-kaidah tertentu meliputi guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan (Saputra, 1992: 8).
Menurut Budya Pradita macapat: puisi tradisi Jawa yang ditembangkan secara vokal. Tanpa iringan instrumen apapun dengan patokan-patokan tertentu, meliputi patokan tembang dan patokan sastra ( Purna, 1996: 3).
Jadi dapat diambil simpulan berdasarkan definisi di atas, bahwa yang disebut tembang macapat adalah bentuk tembang yang merupakan bentuk puisi Jawa tradisional yang menggunakan bahasa Jawa Baru dengan memiliki aturan-aturan atau patokan-patokan sastra Jawa.
B. Sejarah dan Perkembangan
Macapat sebagai sebutan metrum puisi Jawa Pertengahan dan Jawa Baru, yang hingga kini masih digemari masyarakat, ternyata sulit dilacak sejarah penciptaanya. Purbatjaraka menyatakan bahwa macapat lahir bersamaan dengan syair berbahasa Jawa Tengahan; bilamana macapat mulai dikenal, belum diketahui secara pasti. Pigeud berpendapat bahwa tembang macapat digunakan pada awal periode Islam. Pernyataan Pigeud yang bersifat informasi perkiraan itu masih perlu diupayakan kecocokan tahunnya yang pasti.
Karseno Saputra memperkirakan atas dasar analisis terhadap beberapa pendapat beberapa pendapat dan pernyataan. Apabila pola metrum yang digunakan pada tembang macapat sama dengan pola metrum tembang tengahan dan tembang macapat tumbuh berkembang sejalan dengan tembang tengahan, maka diperkirakan tembang macapat telah hadir di kalangan masyarakat peminat setidak-tidaknya pada tahun 1541 masehi. Perkiraan itu atas dasar angka tahun yang terdapat pada Kidung Subrata, Juga Rasa Dadi Jalma yang bertahun 1643 Jawa atau 1541 Masehi (Saputra, 1992: 14).
Penentuan ini berpangkal pijak dari pola metrum macapat yang paling awal yang terdapat pada Kidung Subrata. Sekitar tahun itu hidup berkembang puisi berbahasa Jawa Kuno, Tawa Tengahan, dan Jawa Baru, yaitu kekawin, kidung, dan macapat. Tahun perkiraan itu sesuai pula dengan pendapat Zoetmulder bahwa lebih kurang pada abad XVI di Jawa hidup bersama tiga bahasa, yaitu Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan Jawa Baru.
Dalam Mbombong manah I (Tejdohadi Sumarto, 1958: 5 ) disebutkan bahwa tembang macapat (yang mencakup 11 metrum ) diciptakan oleh Prabu Dewawasesa atau Prabu Banjaran Sari di Sigaluh pada tahun 1191 Jawa (1279 Masehi). Tetapi menurut sumber lain, tampaknya macapat tidak hanya diciptakan oleh satu orang, tetapi oleh beberapa orang wali dan bangsawan (Laginem, 1996: 27). Para pencipta itu adalah Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Muryapada, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Geseng, Sunan Majagung, Sultan Pajang, Sultan Adi Eru Cakra, dan Adipati Nata Praja.
Secara historis, Sastrosupadmo (1974: 15) menginformasikan bahwa TM telah ada sejak zaman Majapahit. Peryataan ini sebenamya masih perlu dipertajam lagi, karena pada zaman Majapahit ada sebagian cendekiawan yang berpendapat bahwa saat itu yang lebih berkembang adalah kidung. Akan tetapi memang bukan mustahil jika, TM itu ada sejak 1500 SM, ketika masyarakat Jawa masih berpaham animisme dan dinamisme. Bahkan boleh jadi TM merupakan kelanjutan dari bentuk kidung, sehingga pada gilirannya muncul sastra suluk yang bermetrum macapat (Jumiran, 1996: 15).

Sedangkan Poerbatjaraka (Widayati, 1993:1) berpendapat munculnya kidung bersamaan TM. Lebih lanjut Poerbatjaraka (Suharjendra, 1996:1) menyatakan bahwa TM muncul sejak zaman kerajaan Demak, kemudian berkembang ke Pajang, Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta. Pujangga terakhir yang menggunakan TM adalah R.Ng Ranggawarsita.

Salam (1960:2) menyatakan bahwa TM Asmaradana dan Pucung adalah ciptaan Sunan Gunung Jati. Sedangkan TM Sinom dan Kinanthi ialah ciptaan Sunan Muria. Hal ini sejalan dengan asumsi Hasyim (1974: 34-35), namun ia menambahkan bahwa TM Mijil diciptakan oleh Sunan Kudus, Dhandhanggula oleh Sunan Kalijaga, Durma oleh Sunan Bonang, Maskumambang oleh Sunan Kudus, Pangkur oleh Drajat, sedangkan Gambuh dan Megatruh tidak dijelaskan. Sedangkan Poedjasoebroto (1978:194-207) menjelaskan Pocung dan Mijil ciptaan Sunan Gunung Jati, Megatruh, Gambuh, clan Kinanthi ciptaan Sunan Giri. Maskumambang ciptaan Sunan Majagung. Persamaannya terletak pada Asmaradana, Durma, dan Dhandhanggula.
Kendati pun ada sedikit perbedaan, kedua pendapat tersebut akan mengarahkan perhatian cendekiawan Jawa untuk berkesimpulan sementara bahwa TM memang ciptaan para Wali yang besar perhatiannya terhadap seni Jawa. Sejak itu para Wali Sanga, mulai berkiprah menyebarkan agama Islam.

Hal demikian memang sulit dipungkiri, sebab makna kata "macapat" semula adalah berkumpul dengan menyuarakan puji-pujian. Makna ini berasal dari jarwa dhosok, macapat, yaitu dari kata ma (menuju) dan capet (maya atau ghaib). Artinya, puji-pujian kepada yang ghaib, yaitu Tuhan.

Makna demikian juga relevan dengan situasi masyarakat Jawa ketika belum masuk agama Islam. Sedangkan pada saat agama Islam telah berkembang, bukan hal yang aneh jika puji-pujian itu diwujudkan pada TM yang berisi rohani, yaitu sastra suluk (Jumiran, 1996: 3). Kendatipun demikian, memang sulit ditentukan, mungkinkah sastra suluk sebagai tonggak kelahiran TM.

Makna macapat memang mengalami pergeseran. Hardjowijono (1994: 3) menafsirkan macapat berkaitan dengan cara membaca (melagukan) empat-empat, yaitu perhentian nafas pada empat suku kata-empat suku kata. Dalam hal ini macapat yang membaca empat-empat itu harus diwaca cepet, ada perubahan kata pat menjadi pet (cepet). Cepat yang dimaksud, seperti diterangkan Suharjendra (1960: 19) yaitu tidak banyak luk. 

Penafsiran demikian juga beralasan karena dalam TM diikat oleh berbagai aturan ketat, seperti guru lagu, guru gatra dan guru wilangan (Prabowo, 1992:66-67). Dengan aturan yang ketat ini justru membuat TM semakin digemari orang Jawa, yakni tingkeban, kelahiran, dan Ultah. 

Pada perkembangan selanjutnya TM tidak saja digunakan untuk mengungkapkan sastra Jawa tradisional (Laginem, 1992: 159), melainkan menurut Darmoatmodjo (1974, Jaya Baya 12 Nopember) juga dipakai lomba, dengan mengutamakan vokal (cara membaca). Kenyataan ini yang mendukung TM memiliki kedudukan tersendiri dalam masyarakat Jawa (Darusuprapto, 1983: 15). Eksistensi demikian dimungkinkan yang membuat TM sampai sekarang masih hidup (Prabowo, 1993: 29).
Namun berdasarkan kajian ilmiah, ada dua pendapat yang memiliki sedikit perbedaan tentang timbulnya macapat. Pendapat pertama bertumpu bahwa tembang macapat lebih tua dibanding tembang gede dan pendapat kedua bertumpu pada anggapan sebaliknya. Kecuali pendapat itu ada pendapat lain tentang timbulnya macapat berdasarkan perkembangan bahasa:
a. Tembang macapat lebih tua daripada tembang gede
Pendapat pertama beranggapan bahwa tembang macapat lebih tua daripada tembang gede tanpa wretta atau tembang gede kawi miring. Tembang macapat timbul pada zaman Majapahit akhir, ketika pengaruh kebudayaan Islam mulai berkembang (Danusuprapta, 1981: 153-154). Dikemukakan pula oleh Purbatjaraka bahwa timbulnya macapat bersamaan dengan kidung, dengan anggapan bahwa tembang tengahan tidak ada (Poerbatjaraka, 1952: 72).
b. Tembang macapat lebih muda daripada tembang gede
Pendapat kedua beranggapan bahwa tembang macapat timbul pada waktu pengaruh kebudayaan Hindu semakin menipis dan rasa kebangsaan mulai tumbuh, yaitu pada zaman Majapahit akhir. Lahirnya macapat berurutan dengan kidung, muncullah tembang gede berbahasa Jawa Pertengahan, berikutnya muncul macapat berbahasa Jawa Baru.
Pada zaman Surakarta awal timbul tembang gede kawi miring. Bentuk gubahan berbahasa Jawa Baru banyak digemari adalah kidung dan macapat. Proses pemunculannya bermula dari lahirnya karya-karya berbahasa Jawa Pertengahan yang biasa disebut dengan kitab kidung, kemudian muncul karya-karya berbahasa Jawa Baru berupa kitab suluk dan kitab niti. Kitab suluk dan niti itu memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan macapat.
c. Tembang macapat berdasarkan perkembangan bahasa
Dalam hipotesis Zoetmulder (1983: 35) disebutkan bahwa secara linguistik bahasa Jawa Pertengahan bukan merupakan pangkal bahasa Jawa Baru, melainkan merupakan dua cabang yang terpisah dan divergen pada bahasa Jawa Kuno. Bahasa jawa kuno merupakan bahasa umum selama periode Hindu – Jawa sampai runtuhnya Majapahit.
Sejak datang pengaruh Islam, bahasa Jawa Kuno berkembang menurut dua arah yang berlainan yang menimbulkan bahasa Jawa Pertengahan dan bahasa Jawa Baru. Kemudian, bahasa Jawa Pertengahan dengan kidungnya berkembang di Bali dan bahasa Jawa Baru dengan macapatnya berkembang di Jawa. Bahkan, sampai sekarang tradisi penulisan karya sastra Jawa Kuno dan Pertengahan masih ada di Bali.
C. Alasan Penciptaan Macapat
Mengajarkan sebuah keyakinan baru kepada sekelompok orang (suku bangsa) bukanlah perkara yang mudah apalagi jika kelompok (suku bangsa) tersebut sudah memiliki keyakinan yang telah sangat lama dianut hingga berpuluh-puluh generasi. Hal itu pernah dirasakan Wali Sanga dalam mengajarkan Islam di tanah Jawa mereka  harus memutar menggunakan metode dakwah yang tidak biasa agar ajaran Islam bisa diterima mengingat saat itu ajaran Hindu dan Budha masih sangat kental dan juga tradisi masyarakat yang masih banyak memegang teguh dengan adat warisan nenek monyang (kejawen) yang notabene banyak yang menyimpang dari ajaran Islam. Maka para Sunan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Sanga, menciptakan macapat karena terinspirasi dari masyarakat sekitar yang gemar dengan seni seperti tarian, syair, sampai dengan pagelaran-pagelaran seperti wayang dan pertunjukan seni lainnya. Oleh karena itu para Sunan menciptakan sebuah tembang yang di dalamnya terdapat makna alur kehidupan tidak lupa dibumbui dengan ajaran-ajaran Islam yang terdapat pada lirik dan syairnya agar dapat menarik hati masyarakat pada saat itu.
D. Muatan/Isi dari Jenis-Jenis Tembang Macapat

1.      Maskumambang
Memvisualisasikan “jabang bayi” yang masih ada di dalam kandungan ibunya, masih belum kelihatan jenis kelaminnya (bisa lelaki atau perempuan), “kumambang” mengandung arti hidupnya mengabang didalam perut ibundanya.
Lagu maskumambang berkumandang dinyanyikan oleh dayang. Dayang menghibur putri yang sedang mengandung agar jabang bayi lahir beruntung.
2.      Mijil
Sebuah kelahiran dari dalam perut ibunda nya, sudah jelas terlihat jenis kelaminnya. Lagu mijil dinyanyikan untuk sang putri sewaktu melahirkan sang bayi sebagai hiburan mengalami nyeri yang diderita hanya oleh dirinya sendiri.
3.      Kinanthi
Berasal dari kata “kanthi”atau tuntunan yang berarti di tuntun supaya bisa berjalan dalam kehidupan di alam dunia. 
Lagu kinanthi dilagukan karena cinta kepada bayi yang mulai mengenal dunia, secara perlahan mengenal Ibu dan Bapa, mengharap cinta kasih yang mesra dari mereka berdua.
4.      Sinom
Berarti “kanoman” (kemudaan/usia muda), berarti adalah waktu luang pada masa muda untuk menimba ilmu sebanyak banyaknya. Lagu sinom dinyanyikan anak sudah muda belia, membukakan mata akan kehidupan dunia yang nyata.
5.      Asmarandana
Berarti perasaan asmara/cinta, perasaan saling menyukai yang sudah menjadi kodrat ilahi (perasaan lelaki dan perempuan) 
6.      Gambuh
Berasal dari kata “jumbuh/sarujuk” (cocok) yang berarti sudah cocok kemudian dipertemukan antara pria dan wanita yang sudah memiliki perasaan asmara, agar menjadikan sebuah pernikahan. 
7.      Dhandanggula
Menggambarkan hidup orang tersebut sedang merasa senang senang nya, apa yang dicita citakan bisa tercapai, bisa memiliki keluarga, mempunyai keturunan, hidup berkecukupan untuk sekeluarga. Sebab itu dia merasa bergemira hatinya, bisa disebut lagu “dandhanggula” 
8.      Durma
Berasal dari kata “darma/weweh” (berdarma/memberikan sumbangan).
9.      Pangkur
Berasal dari kata “mungkur” (mundur) yang berarti sudah memundurkan semua hawa napsunya, yang dipikirkan hanya berdarma kepada sesama mahluk 
10.  Megatruh
Berasal dari kata “megat roh” (melepaskan roh), roh atau nyawa sudah lepas dari badan jasadnya sebab sudah waktunya kembali ke tempat yang telah digariskan oleh Hyang Maha Kuasa 
11.  Pocung
Kalau sudah menjadi “lelayon” (mayat) badan jasad kemudian di pocong sebelum dikubur 
E. Dampak Positif Dan Negatif
v  Dampak Positif dari Tembang Macapat:
1)      Tembang macapat sebagai wawasan berdakwah
Nama-nama tembang macapat, menurut Poedjasoebroto (1978:194-207) berkaitan dengan wawasan hidup yakni tentang dakwah. Hal ini dapat ditelusur dari arti kata tembang yaitu seperti halnya karangan bunga. Di antara karakteristik bunga adalah berbau harum. Oleh sebab itu para wali menyarankan agar dakwah Islam dilakukan seperti menaburkan bunga yang harum, yang menyenangkan, menggembirakan dan enak didengar. Sebaiknya dihindarkan dakwah secara polos, kasar, dan disertai memaki-maki, dan menyindir-nyindir sampai melukai hati.

2)      Tembang Macapat Sebagai Wawasan Perjalanan Hidup
Nama-nama TM menurut Supadjar (1996:5) secara keseluruhan juga menggambarkan tahap-tahap perjalanan hidup manusia, yakni: Mijil (keluar/lahir), Sinom (masa kecil), Maskumambang (masa remaja), Asmaradana (sudah menyukai lawan jenis), Dhandhanggula (menemukan manisnya kehidupan yaitu berumah tangga), Kinanthi (menapaki kehidupan rumah tangga yang harmonis), Gambuh (memiliki kehidupan rumah tangga yang benar-benar mencapai kebahagiaan dan kemuliaan hidup), Durma (mundur, mulai mengundurkan diri), Pangkur (mungkur/ meninggalkan hal-hal keduniawian), Megatruh (memisah ruh: meninggal) dan Pocung (dipocong).

v  Dampak Negatif dari Tembang Macapat:
Masih adanya sebagian dari masyarakat karawitan Jawa yang meyakini bahwa dengan melantunkan tembang macapat dalam upacara slametan (kenduri), upacara pernikahan dan sebagai puncaknya adalah pelantunan tembang macapat kidung tulak bala, mereka memohon perlindungan keselamatan pada Tuhan YME. Dikhawatirkan jika iman mereka masih lemah maka bisa menjerumuskan mereka pada kemusyrikan.
F. Kesimpulan
Tembang macapat adalah bentuk tembang yang merupakan bentuk puisi Jawa tradisional yang menggunakan bahasa Jawa Baru dengan memiliki aturan-aturan atau patokan-patokan sastra Jawa. Tembang ini mulai muncul pada berakhirnya zaman Majapahit dan dimulainya Wali Sanga berdakwah di tanah Jawa.
Tembang-tembang macapat secara keseluruhan menggambarkan wawasan berdakwah dan wawasan perjalanan hidup manusia.
Dampak positif dan negatif dari tembang macapat tergantung dari orang yang menggunakan dan niatnya.